Death for Crime, Hail Justice!


Titi Kala Mangsa (Pada Suatu Ketika)
25 May 2009, 1:43 am
Filed under: Personal Case

srikandi

Arjuna telah sampai lagi di Padang Kurusetra, dimana beribu tahun silam keluarga Pandawa dan Kurawa saling bunuh demi memperebutkan tahta Hastinapura. Dimana Bima bertarung selama 13 hari 13 malam sebelum akhirnya bisa membunuh Jarasanda, dan Abimanyu ~ putra Arjuna yang terlahir dari rahim Subadra ~ menemui ajalnya dalam kematian yang menyayat hati, dijebak secara licik oleh Kurawa.

Beribu tahun yang lalu? Ya, Arjuna telah hidup selama ribuan tahun, akibat kelalaiannya menyantap amrit yang sedianya merupakan santapan untuk Betara Narada. Waktu itu, Arjuna yang sedang berburu di hutan dekat Narayanasrama bersama Srikandi kelelahan, seharian tak menemukan binatang buruan. Sejoli yang kelaparan itu tak sengaja menemukan ceruk, yang di situ tersaji berupa-rupa santapan yang sungguh menggoda. Santapan itu sejatinya merupakan amrit ~ santapan dewa-dewi yang barang siapa memakannya bakal memperoleh hidup abadi. Maka Arjuna dan Srikandi yang secara lancang menyantap amrit tak bisa mati, sempat pula beranak-pinak hingga bisa mendirikan negara sendiri, namun hanya mereka berdua yang berusia lama. Anak cucu cicit dari anak cucu cicitnya, hingga urutan canggah dan debog bosok yang paling akhir telah punah, putus garis keturunannya. Arjuna dan Srikandi tak tersentuh oleh mati, seolah tak ada dalam daftar urut pencabutan nyawa oleh Dewa Yama, sang dewa kematian.

Arjuna baru mengetahui kenyataan bahwa hidup abadi tak berarti bebas dari gerogotan penyakit. Dia yang sudah bernafas selama ribuan tahun, ternyata mengidap kencing manis, kadar gulanya tinggi; setinggi dada orang dewasa. Hidup abadi, ternyata tak memberikan apapun kecuali rasa hampa. Kini, yang dimilikinya hanyalah rasa cintanya kepada sang istri, serta keinginan untuk mati yang menjadi-jadi.

Maka, kali ini di Padang Kurusetra, Arjuna menarik kuat-kuat tali Gandewa ~ busur saktinya, lalu dilepaskannya seolah menembakkan panah ke langit, berkali-kali, hingga bermunculan kilat neon murahan. Maka muncullah Betara Narada di hadapan Arjuna dan Srikandi yang diliputi pengharapan untuk mati.

Arjuna dan Srikandi bertekuk lutut, memberi penghormatan tertinggi kepada Betara Narada.

“Ingsun sudah mengerti isi hatimu, wahai Putra Pandu…”, kata Betara Narada

“Ingsun sudah melanglang buana, merasakan berbagai macam rasa dan warna kehidupan, namun sekiranya segala rupa kenikmatan duniawi kini terasa hambar”, Arjuna membuka beban hatinya, “Pernah pula ingsun berdoa jelek, memohon agar supaya Dewa Syiwa menarikan tarian Rudra untuk meluluh lantakkan dunia dan seisinya, sekalian meremukkan jasad Kami, memutuskan tali silaturahim antara ruh dan badan ~ sehingga Kami bisa mati”

“Tidakkah engkau menginginkan hidup abadi?”, tanya Betara Narada, “Bagaimana jika ingsun jadikan Padang Kurusetra ini seindah nirwana? Sehingga kau berasa tinggal di nirwana, dan tak perlu lagi kau harapkan dirimu untuk mati?”

“Bukankan seindah apapun keimanan seseorang, tidakkah dia tak akan bisa masuk nirwana terkecuali dia harus mati terlebih dulu?”, Arjuna balik bertanya, “Sekiranya dunia dan seisinya ini, segala rupa keindahannya yang paling indah sekalipun tak ada bandingannya dengan keindahan Nirwana…”

Betara Narada tersenyum.

“Sekiranya engkau sudah niat, dan tekadmu sudah bulat, maka ingsun kabulkan permintaan matimu”.

Betara Narada menyerahkan dua bilah anak panah Wajrayudha, satu untuk Arjuna, dan satu untuk Srikandi.

“Saling bunuhlah kalian, wahai dua sejoli yang sudah bosan hidup. Sekiranya Wajrayudha ini ~ yang hanya tersisa ini tanpa bisa kuberikan lagi ~ bahkan sanggup mematahkan kutukan sekalian khasiat amrit yang telah kalian makan… sehingga kalian bisa menggapai nirwana…”

Arjuna dan Srikandi membungkuk penuh hormat ketika menerima si senjata keramat. Keduanya saling pandang, tanpa kata dan tanpa menyadari bahwa Betara Narada menghilang perlahan dalam kegelapan, di pojok yang tak tersiram cahaya.

“Tak pernah terbayangkan olehku, mengarahkan anak panah ke dadamu, duhai Dinda… dengan niatan untuk mematahkan tulang rusukmu, menghancurkan jantung hatimu, sekalian menarik keluar nyawamu…” Arjuna memegang bahu Srikandi, dengan tangan gemetar

“Demikian pula denganku, Kanda”, Srikandi mengangguk, “Yang Dinda tahu bahwasanya Dinda berkewajiban menjaga kehormatan Kanda, dan berbakti kepada Kanda sepanjang umur Dinda bisa direntangkan… Tak pernah terbayangkan Dinda bertindak durhaka, lancang menembakkan anak panah ke jantung hati Kakanda…”

“Kanda mohon, Dinda, tolong tahanlah rasa sakitnya barang sejenak”, Arjuna meratap, “Akan Kanda bebaskan dirimu dari siksa keabadian ini… Sekiranya kini Kita sadar, bahwa hidup dan nyawa kita berharga karena nyawa itu tak terganti, dan hidup hanya sekali”

Srikandi mengangguk pelan. Mereka sudah mencapai mufakat, bahwa mereka bakal saling membebaskan kutukan keabadian masing-masing. Maka Arjuna dan Srikandi saling berjalan menjauh, sebelum membalikkan badan ~ saling berhadapan. Arjuna dan Srikandi mengarahkan mata anak panah Wajrayudha-nya ke pujaan hati masing-masing, sambil melelehkan air mata. Dan seketika itu jari-jemari Srikandi terpeleset. Arjuna dengan mantap melepaskan tarikannya, dua Wajrayudha berlawanan arah melesat cepat. Remuklah dada Srikandi, namun tidak demikian dengan Arjuna. Tembakan Srikandi meleset. Arjuna berdiri dalam diam. Dilihatnya dari kejauhan tubuh kekasih hatinya tersungkur ke tanah. Nyawanya melesat dibawa anak panah maut yang menembus tubuhnya, melesak jauh ke arah nirwana.

Sejurus kemudian, Arjuna tersimpuh dengan air mata berlelehan. Disungkurkannya kepalanya ke tanah, mencurahkan seluruh air matanya hingga kering, seolah ingin menciptakan sungai yang mengalir dari hulu ke hilir. Sambil menjeritkan nama kekasih hatinya. Dibelokkannya ekor matanya, senyum kecil bangga tersungging di ujung tepi bibirnya kala dilihatnya wajah perempuan yang ditaksirnya, terduduk diam di kursi di sebelah bapaknya. Menghayati.

 

Mi’un bertepuk tangan penuh semangat, wajahnya berseri-seri. Menonton pagelaran wayang orang seperti ini, adalah salah satu ritual yang sudah dilakukannya sejak berpuluh tahun silam, namun baru beberapa kali ini dia menjalankannya dengan status sosial yang baru; sebagai orang kaya! Ya, semenjak dia menerima sms pengumuman bahwa dia menerima hadiah uang 30 juta, Mi’un naik kelas sosial, menjadi orang kaya. Uang itu, dia gunakan untuk membeli mobil mewah, dan mendirikan rumah mewah pula, serta untuk menyekolahkan Nurul ~ putri semata wayangnya hingga di bangku kuliah. Kini, dia bisa dengan bangga mengajak Nurul menonton wayang orang dengan menaiki mobil mewah itu, tak perlu lagi bersedih hati atau merasa rendah diri karena mereka kini termasuk golongan masyarakat papan atas.

“Ayo pulang, Nur…”, Mi’un bangkit dari kursinya, “Bengsin mobil kita tadi hampir habis, takutnya kemalaman dan kita kehabisan bahan bakar di jalan”

“Bapak lupa ya? Mobil kita ‘kan masih di bengkel…?”

“Oh! Iya!”, Mi’un menepis dahinya sendiri, “Bapak lupa…”

Senyum jenaka khas Mi’un tersungging di bibirnya, membuat wajah berkulit hitam itu terlihat cerah bak mentari merekah

Nurul tersenyum kecil melihatnya. Melihat bapaknya bahagia, Nurul ikutan bahagia pula

Senyum Nurul perlahan meredup menjadi temaram. Mati-matian Nurul menahan segumpal air mata yang hendak melorot turun dari sudut matanya. Sudah sekian tahun ~ delapan tahun tepatnya ~ Bapaknya menjadi gila gara-gara terlalu lugu dan percaya, bahwa sms hadiah uang itu adalah benar adanya. Omong kosong bahwa duit 30 juta bisa dibagi-bagikan begitu saja, seolah jaman sekarang ini bukan jaman susah, dan duit bisa dipanen dari pohon, atau cukup menggoyangkan batang pohon maka duit berlembar-lembar bakal berguguran.

Nurul ingat betul siang hari delapan tahun lalu, Wak Qosim yang datang mencarinya tergopoh-gopoh di rumah Haji Koharuddin, mengabari kalau bapaknya menjerit-jerit di bank. Ketika Nurul menjelaskan duduk perkaranya, soal sms berisi pengumuman bahwa Mi’un mendapat hadiah 30 juta rupiah, Wak Qosim geleng-geleng kepala.

“Bapakmu sudah jadi gila, Nur”, bilang Wak Qosim yang waktu itu kebetulan sedang berada di bank buat narik duit.

Seketika Nurul menangis, mimpi paling buruk dalam hidupnya, tiba-tiba saja hadir jauh lebih dari nyata. Mi’un, bapak kesayangannya, kehilangan kewarasan hanya karena terlalu lugu, dan terlalu percaya bahwa semua orang itu baik adanya, dan bahwa di dunia yang sudah tua menjelang ajalnya ini, tidak ada yang namanya dusta. Impian dan pengharapan Mi’un yang kelewat besar, serta kenyataan yang melenceng jauh dari impiannya itu terlalu berat, dan mematahkan tonggak batas kewarasan dalam alam fikir Mi’un…

Delapan tahun sudah, Nurul berjuang mati-matian, menggadaikan gengsi masa remaja, tenggelam dalam rutinitas belajar dan membabu, mencari pekerjaan sampingan ~ samping kiri samping kanan. Melamar beasiswa di sana-sini, untuk menyokong kehidupannya yang miskin bersama bapaknya tercinta, sekalian untuk melunasi tagihan perkuliahan. Belum lagi urusan dia dikejar-kejar Sutono, pemain wayang orang pemeran Arjuna yang yaqin seyaqin-yaqinnya bahwasanya hati Nurul telah berada dalam genggamannya. Dunia… begitu banyak hal yang seolah mengajak Nurul untuk ikutan menjadi gila… mungkin nanti, pada suatu ketika…